1. Pembentukan Frasa dan Kalimat
Dari segi konstruksinya, frasa dan kalimat tidak berbeda, keduanya terbentuk dari dua kata atau lebih. Meski begitu, keduanya mudah dibedakan karena ada ciri yang melekat pada frasa maupun kalimat, yaitu:
a. Sepanjang apapun dan sebanyak berapa pun kata yang menjadi unsurnya, khususnya pada frasa yang berkonstruksi endosentris yang atributif, frasa selalu berintikan satu kata saja. Misal, terhadap frasa jambu air, kita ajukan pertanyaan “yang anda makan itu jambu ataukah air?” kalau jawabanya “jambu”, maka inti frasa itu adalah jambu. Tetapi kalau jawabannya “air”, maka inti frasa itu adalah air. Disisi lain, sependek apa pun kalimat tidak pernah berintikan satu kata
b. Sepanjang apapun, setiap frasa hanya menduduki satu fungsi sintaksis dalam kalimat, apakah subjek, predikat, objek, komplemen atau keterangan saja
c. Jika urutannya yang menjadi unsur dapat dibalik, konstruksi itu pastilah kalimat. Jika urutannya tidak dapat dibalikkan, konstruksi itu pastilah frasa. Contoh, konstruksi frasa baju baru tidak dapat diubah menjadi baru baju. Tetapi pada kalimat bajunya baru dapat diubah menjadi baru bajunya. Demikian karena sebuah frasa hanya diucapkan dalam satu intonasi, sedangkan kalimat selalu diucapkan dalam dua intonasi karena kalimat itu pada hakikatnya terbagi atas duua bagian, yaitu pokok yang berintonasi naik dan sebutan yang berintonasi turun (dalam kalimat Tanya bagian kedua naik, tetapi disertai oleh getarnya Tanya)
2. Kajian Frasa Berdasarkan Paradigma / Analogi dan Kaidah/ Kelaziman
Sepertinya halnya pengujian bentuk kata, pengujian kebenaran suatu frasa pun dapat kita lakukan dengan menggunakan paradigma. Caranya frasa yang akan kita uji kebenarannya kita runut ada tidaknya pola yang dipakai sebagai dasar pembentukan. Kalau ada, berarti frasa itu benar, tetapi kalau tidak, berarti kebenarannya dipertanyakan
Contoh :
Pengusaha kayu ‘pengusaha yag menjual kayu’
Pengusaha ayam ‘pengusaha yang menjual ayam’
Pengusaha wanita ‘pengusaha yang menjual wanita’ ??? (dengan demikian kalau yang dimaksud adalah wanita yang berprofesi sebagai pengusaha mestinya bentuk frasanya adalah wanita pengusaha)
Akan tetapi, sebagaimana pembentukan kata, dalam pembentukan frasa pun kita harus mengakui adanya kelaziman sebagai sumber kaidah. Dengan kata lain suatu frasa bisa jadi pada mulanya tidak ditemukan paradigmanya tetapi dianggap benar karena t]elah menjadi kelaziman dan sukar dilakukan perubahan
Contoh :
- ‘ Majelis yang bermusyawarah untuk rakyat ‘ dinamai majelis permusyawaratan rakyat. (benar, sesuai dengan kaidah)
- Tetapi ‘dewan yang mewakili rakyat ‘ dinamai dewan perwakilan rakyat padahal secara kaidah seharusnya dewan perwakilan rakyat